BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.1
Pengertian
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Dan yang dimaksud dengan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan
di atasnya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
Ketentuan Peraturan perundang-undangan lainnya.
1.2
Dasar
Hukum Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
a.
Undang-undang
RI Nomor 20 tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
b.
Peraturan
Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan karena waris dan hibah wasiat
c.
Peraturan
Pemerintah Nomor 112 Tahun2000 tentang pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan karena pemberian Hak pengelolaan
d.
Peraturan
Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang penentuan besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
e.
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang tata cara penentuan Besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak tidak kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
1.3
Objek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Yang
menjadi Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut ketentuan
pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2000 adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan yang
dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan menurut pasal 2 ayat 2,
meliputi :
a.
Pemindahan
hak karena :
1.
Jual
beli
2.
Tukar-menukar
3.
Hibah
4.
Hibah
wasiat
5.
Waris
6.
Pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya
7.
Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan
8.
Penunjukkan
pembeli dalam lelang
9.
Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
10.
Penggabungan
usaha
11.
Peleburan
usaha
12.
Pemekaran
usaha
13.
Hadiah
b.
Pemberian
Hak baru, karena :
1.
Kelajutan
pelepasan hak
2.
Diluar
pelepasan hak
Hak
atas tanah sebagaimana disebutkan di atas adalah hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
pengelolaan.
1.4
Objek
Tak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan Bea
perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut pasal 3 ayat (1) UU Nomor 21
Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, adalah Objek
Pajak yang diperoleh :
1.
Perwakilan
diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik
2.
Negara
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum
3.
Badan
atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan
menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut
4.
Orang
pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama
5.
Orang
pribadi atau badan karena wakaf
6.
Orang
pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
1.5
Subjek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Subjek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut pasal 4 ayat (1) UU
Nomor 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000
adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan.
1.6 Perhitungan
Besarnya Bea Perolehan Objek Pajak Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak
Besarnya bea
perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dihitung dengan cara mengalikan Tarif
Pajak dengan nilai perolehan Objek Pajak Kena pajak (NPOPKP). Besarnya Tarif
Pajak menurut Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2000 adalah 5%. Sedangkan besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak kena Pajak adalah selisih antara Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP) dengan Nilai perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Secara skematis besarnya Bea Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (BPHTB) dihitung
sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak
.........................................................................................
xx
Dikurangi :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena Pajak
............................................................ xx
(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena pajak
..................................................................... xx
Dikalikan :
Tarif Pajak
....................................................................................................................
5%
(-)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
............................................................. xx
Secara ringkas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
BPHTB = Tarif Pajak
x ( NPOP – NPOPTKP)
= 5% x
NPOPKP
1.6
NPOPKP
Dan NPOPTKP
a.
NPOPKP
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP)
NPOPKP = NPOP - NPOPTKP
b.
NPOPTKP
NPOPTKP ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak
berdasarkan usulan dari kepala daerah / pemerintah daerah.
Nilai NPOPTKP ditentukan sebagai berikut :
1)
Untuk
perolehan hak karena waris dan hibah wasiat paling tinggi Rp 300.000.000,00
2)
Untuk
perolehan lainnya paling tinggi Rp 600.000.000,00
c.
Cara
Perhitungan BPHTB
BPHTB = 5% (NPOP –
NPOPTKP)
|
1.7
Contoh
Soal Kasus dan Penyelesaian
Pada tanggal 23 April 2001, PT. Abid Wiratama membeli sebidang
tanah secara tunai milik Tn. Maliki di Jl. Lowanu Sorosutan UH VI/120,
Yogyakarta seluas 4.500 m2 dengan harga yang disepakati sebesar Rp 450.000,00
per m2. Nilai Jual Objek Pajak menurut SPPT PBB Tahun 2001 yang diterima pada
bulan Maret 2001 adalah Rp 425.000,00 per m2. Nilai perolehan hak selain karena
waris atau hibah yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota yogyakarta
ditetapkan sebesar Rp 50.000.000,00.
Diminta :
1.
Hitung
besarnya Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan yang harus dibayar oleh PT.
Abid Wiratama pada saat pembelian!
2.
Kapan
Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan harus dilunasi oleh PT. Abid Wiratama
?
3.
Apa sarana yang digunakan untuk melunasi BPHTB
tersebut ?
Penyelesaian :
1.
Besarnya
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar oleh PT. Abid
Wiratama atas pembelian sebidang tanah milik Tn. Maliki adalah Rp
98.750.000,00, yang dihitung dengan cara sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak :
4.500 m2 x Rp 450.000,00
....................................... =
Rp 2.025.000.000,00
Dikurangi :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP)
................................................................ = Rp 50.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) = Rp 1.975.000.000,00
Dikalikan :
Tarif Pajak
.................................................................. = 5%
Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = Rp
98.750.000,00
2.
Bea
Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 98.750.000,00, yang
harus dibayar oleh PT. Abid Wiratama harus dilunasi sebelum penandatanganan
akta jual beli di depan Notaris.
3.
Jumlah
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus disetor oleh PT.
Abid Wiratama ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik
Negara atau Bank Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri dengan Surat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
1.8 Saat Pajak Terutang
dan Tempat Pajak terutang
a. Saat Pajak
Terutang
q Sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah/ Notaris, meliputi ; Jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hah yang
menyebabkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, hadiah.
q Sejak Penunjukan pemenang lelang untuk
lelang
q Sejak tanggal keputusan pengadilan yang
mempunyai ketetapan hukum tetap dalam hal sudah keputusan hukum.
q Sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan, meliputi hibah wasiat dan
waris
q Sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, meliputi pemberian hak baru atas
tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan pemberian hak baru di luar
pelepasan hak.
b. Tempat Pajak
Terutang
q Tempat pajak terutang adalah di wilayah
Kabupaten, Kota atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
1.9 Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pengurangan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 20 UU Nomor 21 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, dan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 518/KMK.04/2000 tentang pemberian pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diberikan dalam hal sebagai berikut :
a.
Kondisi
tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajakWajib pajak yang
memperoleh hak baru selain hak pengelolaan.
b.
Kondisi
wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu.
c.
Tanah
atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang
semata-mata tidak ditunjukkan untuk mencari keuntungan.
PAJAK
DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
2.1 Perubahan BPHTB Menjadi PDRD
Pada tanggal 1 Januari 2011 pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang biasa dikenal
dengan BPHTB telah resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax).
Pengalihan wewenang pemungutan
atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
2.2 Pengertian
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi,
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah dareah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
2.3 Inti dari undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009
adalah antara lain:
1.
Pengenaan
pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut
jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut,
2.
Perubahan
pola pengawasan yang semula bersifat represif menjadi ke arah preventif
dan korektif,
3.
Terdapat
sanksi bagi daerah apabila melanggar,
4.
Mulai memperkenalkan
adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan
masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang
berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan,
5.
Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
2.4 Tujuan Penyempurnaan dari UU PDRD
Adapun tujuan penyempurnaan dari
UU PDRD adalah:
1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi
daerah,
2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
· Perluasan objek
pajak daerah dan retribusi daerah,
·
Penambahan
jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB
menjadi Pajak Daerah),
·
Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
·
Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
3. Meningkatkan Efektifitas
Sistem Pengawasan dengan cara:
·
Mengubah sistem pengawasan,
·
Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui
penyempurnaan:
·
Sistem bagi
hasil pajak Provinsi,
·
Pengembangan sistem earmarking,
Seiring dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang memberikan diskresi tarif dan perluasan basis pajak, maka diharapkan
kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga
akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Dalam hal pengaturan perpajakannya juga terdapat
beberapa perbedaan antara Undang-undang BPHTB Nomor 20 Tahun 2000 dengan yang
tertera dalam Undang-undang PDRD. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam
tabel sebagai berikut ini.
2.5 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang Memuat
BPHTB
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dimuat dalam UU No 28 Tahun 2009,
terdapat pada pasal 85 sampai dengan pasal 93
2.6 Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD
Tabel 3. Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD
No
|
Uraian
|
UU BPHTB
UU No. 20 Tahun 2000
|
UU PDRD
UU NO. 28 Tahun 2009
|
1
|
Tarif
|
5% ( Fixed)
|
1.
1. Paling tingggi 5%
2.
2. Ditetapkan oleh Perda
|
2
|
Dasar Pengenaan
|
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
|
3.
|
Nilai Perolehan Objek Tidak kena Pajak (NPOTKP)
|
1. Paling banyak
Rp
300.000.000 untuk waris dan hibah
wasiat
2. Paling banyak Rp 60.000.000 untuk selain waris dan
hibah wasiat
3. Ditetapkan Menteri Keuangan
|
1. Paling rendah Rp 300.000.000 untuk waris dan hibah
wasiat
2. Paling banyak Rp 60.000.000 untuk selain waris dan
hibah wasiat
3. Ditetapkan Oleh Perda
|
4
|
Penghitungan BPHTB Terhutang
|
5% dari (NPOP – NPOPTKP)
|
5%(max) dari (NPOP – NPOPTKP)
|
LAMPIRAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009
Pasal 85
(1) Objek Pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13)
hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak
yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik
b. negara untukpenyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
e. orang
pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f.
orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 86
(1)
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah
orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.
Pasal 87
(1)
Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), dalam hal:
a.
jual beli adalah harga transaksi;
b.
tukar menukar adalah nilai pasar;
c.
hibah adalah nilai pasar;
d.
hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
waris adalah nilai pasar;
f.
pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah
nilai pasar;
h.
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar.
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari
pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar
pelepasan hak adalah
nilai pasar
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah
harga transaksi
yang tercantum dalam risalah lelang.
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf
n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP
yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang dipakai
adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak ditetapkan
paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib
Pajak.
(5)
Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat
yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah
sebesar Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
(6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Pasal 88
(1)
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima
persen).
(2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Pasal 89
(1)
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2)
dengan dasar pengenaan pajak dalam
Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 87 ayat (6).
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang terutang
dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Pasal 90
(1)
Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b.
tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah
sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor bidang
pertanahan;
f. pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal
putusan pangadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai
kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan
hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya
akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal
penunjukkan pemenang lelang.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada
saat terjadinya perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 93
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (1)
dan ayat
(2) dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima
ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan
kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 92 ayat (1)
dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap
laporan
(3) Kepala kantor bidang pertanahan yang
melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3)
dikenakan sanksi sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Tjahjono dan Triyono Wahyudi, “ Perpajakan
Indonesia-Pendekatan Soal Jawab dan Kasus, RajaGrafindo persada, Jakarta :
2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, tentang Perubahan atas
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
http :// LKPJ Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011