Minggu, 28 Oktober 2012


BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.1  Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Dan yang dimaksud dengan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Ketentuan Peraturan perundang-undangan lainnya.

1.2  Dasar Hukum Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
a.    Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena waris dan hibah wasiat
c.    Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun2000 tentang pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak pengelolaan
d.   Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang penentuan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
e.    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang tata cara penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak tidak kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

1.3  Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Yang menjadi Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan menurut pasal 2 ayat 2, meliputi :
a.         Pemindahan hak karena :
1.      Jual beli
2.      Tukar-menukar
3.      Hibah
4.      Hibah wasiat
5.      Waris
6.      Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
7.      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8.      Penunjukkan pembeli dalam lelang
9.      Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
10.  Penggabungan usaha
11.  Peleburan usaha
12.  Pemekaran usaha
13.  Hadiah

b.        Pemberian Hak baru, karena :
1.    Kelajutan pelepasan hak
2.    Diluar pelepasan hak
Hak atas tanah sebagaimana disebutkan di atas adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

1.4  Objek Tak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut pasal 3 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, adalah Objek Pajak yang diperoleh :
1.    Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik
2.    Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
3.    Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut
4.    Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
5.    Orang pribadi atau badan karena wakaf
6.    Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

1.5  Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut pasal 4 ayat (1) UU Nomor 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan.

1.6 Perhitungan Besarnya Bea Perolehan Objek Pajak Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak
            Besarnya bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan nilai perolehan Objek Pajak Kena pajak (NPOPKP). Besarnya Tarif Pajak menurut Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2000 adalah 5%. Sedangkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak kena Pajak adalah selisih antara Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Secara skematis besarnya Bea Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (BPHTB) dihitung sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak ......................................................................................... xx
Dikurangi :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena Pajak ............................................................ xx
                                                                                                                                                (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena pajak ..................................................................... xx
Dikalikan :
Tarif Pajak .................................................................................................................... 5%
                                                                                                                                                (-)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ............................................................. xx
                                                                                                                                                
Secara ringkas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BPHTB           = Tarif Pajak x ( NPOP – NPOPTKP)
                        = 5% x NPOPKP


1.6  NPOPKP Dan NPOPTKP
a.      NPOPKP
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
NPOPKP = NPOP - NPOPTKP
b.      NPOPTKP
NPOPTKP ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak berdasarkan usulan dari kepala daerah / pemerintah daerah.
Nilai NPOPTKP ditentukan sebagai berikut :
1)        Untuk perolehan hak karena waris dan hibah wasiat paling tinggi Rp 300.000.000,00
2)        Untuk perolehan lainnya paling tinggi Rp 600.000.000,00
c.       Cara Perhitungan BPHTB
BPHTB     = 5% (NPOP – NPOPTKP)
BPHTB     = 5% (NJOP – NPOPTKP)
BPHTB     = 5% (NJOP – NPOPTKP)

 
Atau;


1.7  Contoh Soal Kasus dan Penyelesaian
Pada tanggal 23 April 2001, PT. Abid Wiratama membeli sebidang tanah secara tunai milik Tn. Maliki di Jl. Lowanu Sorosutan UH VI/120, Yogyakarta seluas 4.500 m2 dengan harga yang disepakati sebesar Rp 450.000,00 per m2. Nilai Jual Objek Pajak menurut SPPT PBB Tahun 2001 yang diterima pada bulan Maret 2001 adalah Rp 425.000,00 per m2. Nilai perolehan hak selain karena waris atau hibah yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota yogyakarta ditetapkan sebesar Rp 50.000.000,00.
Diminta :
1.      Hitung besarnya Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan yang harus dibayar oleh PT. Abid Wiratama pada saat pembelian!
2.      Kapan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan harus dilunasi oleh PT. Abid Wiratama ?
3.       Apa sarana yang digunakan untuk melunasi BPHTB tersebut ?
Penyelesaian :
1.      Besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar oleh PT. Abid Wiratama atas pembelian sebidang tanah milik Tn. Maliki adalah Rp 98.750.000,00, yang dihitung dengan cara sebagai berikut :
Nilai perolehan Objek Pajak :
4.500 m2 x Rp 450.000,00  .......................................            = Rp 2.025.000.000,00
Dikurangi :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) ................................................................           = Rp      50.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)             = Rp 1.975.000.000,00
Dikalikan :
Tarif Pajak ..................................................................            =                                  5%
Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) = Rp        98.750.000,00
2.      Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 98.750.000,00, yang harus dibayar oleh PT. Abid Wiratama harus dilunasi sebelum penandatanganan akta jual beli di depan Notaris.
3.      Jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus disetor oleh PT. Abid Wiratama ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).  

1.8 Saat Pajak Terutang dan Tempat Pajak terutang
a. Saat Pajak Terutang
q  Sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris, meliputi ; Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hah yang menyebabkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, hadiah.
q  Sejak Penunjukan pemenang lelang untuk lelang
q  Sejak tanggal keputusan pengadilan yang mempunyai ketetapan hukum tetap dalam hal sudah keputusan hukum.
q  Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan, meliputi hibah wasiat dan waris
q  Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, meliputi pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
b. Tempat Pajak Terutang
q  Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
1.9 Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 20 UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 518/KMK.04/2000 tentang pemberian pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diberikan dalam hal sebagai berikut :
a.         Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajakWajib pajak yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan.
b.        Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu.
c.         Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak ditunjukkan untuk mencari keuntungan.

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

2.1 Perubahan BPHTB Menjadi PDRD
Pada tanggal 1 Januari 2011 pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang biasa dikenal dengan BPHTB telah  resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax).
Pengalihan wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan  amanat  Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

2.2 Pengertian Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah dareah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

2.3 Inti dari undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah antara lain:
1.        Pengenaan pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut,
2.        Perubahan pola pengawasan yang semula bersifat represif menjadi ke arah preventif dan korektif,
3.        Terdapat sanksi bagi daerah apabila melanggar,
4.        Mulai memperkenalkan adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan,
5.        Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.






2.4 Tujuan Penyempurnaan dari UU PDRD

Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:
1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
·        Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
·           Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
·            Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
·            Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
3. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
·            Mengubah sistem pengawasan,
·            Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
·            Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
·            Pengembangan sistem earmarking,

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang  memberikan diskresi tarif dan perluasan basis pajak, maka diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Dalam hal pengaturan perpajakannya juga terdapat beberapa perbedaan antara Undang-undang BPHTB Nomor 20 Tahun 2000 dengan yang tertera dalam Undang-undang PDRD. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut ini.

2.5 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang Memuat BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dimuat dalam UU No 28 Tahun 2009, terdapat pada pasal 85 sampai dengan pasal 93







2.6 Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD

Tabel 3. Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD
No
Uraian
UU BPHTB
UU No. 20 Tahun 2000
UU PDRD
UU NO. 28 Tahun 2009
1
Tarif
5% ( Fixed)
1.                    1. Paling tingggi 5%
2.             2. Ditetapkan oleh Perda
2
Dasar Pengenaan
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
3.
Nilai Perolehan Objek Tidak kena Pajak (NPOTKP)
1.     Paling banyak
    Rp 300.000.000 untuk waris    dan hibah wasiat
2.    Paling banyak Rp 60.000.000 untuk selain waris dan hibah wasiat
3.    Ditetapkan Menteri Keuangan
1.     Paling rendah Rp 300.000.000 untuk waris dan hibah wasiat
2.    Paling banyak Rp 60.000.000 untuk selain waris dan hibah wasiat
3.    Ditetapkan Oleh Perda

4
Penghitungan BPHTB Terhutang
5% dari (NPOP – NPOPTKP)
5%(max) dari (NPOP – NPOPTKP)
















LAMPIRAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009
Pasal 85
(1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
 (2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
          3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
      13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan   adalah   objek pajak yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
b. negara untukpenyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 86
(1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau     Badan yang  memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
 (2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak  atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pasal 87
(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan  Objek Pajak.
 (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar.
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
 (3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak  diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
 (4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
 (6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 88
(1) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5%     (lima persen).
 (2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 89
(1) Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak  dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (6).
 (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Pasal 90
(1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor  bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal  diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
 (2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 93
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran
 (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan
 (3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai



DAFTAR PUSTAKA
Achmad Tjahjono dan Triyono Wahyudi, “ Perpajakan Indonesia-Pendekatan Soal Jawab dan Kasus, RajaGrafindo persada, Jakarta : 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
http :// LKPJ Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011