3.2 Fatwa dewan syari’ah Nasional
Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 53/DSN-MUI/III/2006,
tentang
Tabarru’
pada Asuransi Syari’ah[1]
Menimbang :
a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu
dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci;
b. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah
fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi;
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional
memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar. (QS. al-Nisa’ [4]: 2).
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).
“Hai orang yang
beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]:
18).
2. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip
bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad
itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).
“Hai orang yang
beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil,
kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).
3. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling
tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).
2
Hadis-hadis
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara
lain:
“Barang siapa
melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan
kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Perumpamaan orang
beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang
satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut
menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
“Seorang mu’min
dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian
yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
“Barang siapa
mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan, dan
janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sederkah (zakat
dan nafakah)” (HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash).
“Kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
“Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis
Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu
‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
5. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua
bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Segala mudharat
harus dihindarkan sedapat mungkin.”
“Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan:
1. Pendapat para ulama, antara lain:
• Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh
peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui)
perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta)
sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan. (Wahbah al-Zuhaili,
al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287).
• Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk
memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah
“kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik.
(Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud
al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib,
al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).
• Hubungan hukum yang timbul antara para peserta
asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad
tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang
terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan
pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah
(Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83).
2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI
dengan AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula
1426 H / 14-15 Juni 2005 M.
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan
Syari’ah Nasional pada 23 Shafar 1427/23 Maret 2006.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA
ASURANSI SYARI’AH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
• a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi
kerugian dan reasuransi syariah;
• b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang
polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
• 1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus
melekat pada semua produk asuransi.
• 2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua
bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang
dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar
peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan
sekurang-kurangnya:
• a. hak & kewajiban masing-masing peserta
secara individu;
• b. hak & kewajiban antara peserta secara
individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
• c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
• d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai
dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
• 1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana
hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang
tertimpa musibah.
• 2. Peserta secara individu merupakan pihak yang
berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).
• 3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai
pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain
pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
• 1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari
dana lainnya.
• 2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi
hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
• 3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi
dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah
Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
• 1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana
tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan
dalam akun tabarru’.
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan
dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat
aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan
dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut
di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh : Defisit Underwriting
• 1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana
tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi
kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
• 2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan
asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
Kedelapan : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan,
dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.